“Kasih Ibu sepanjang hayat, kasih anak sepanjang jalan”. Demikian
pepatah yang menggambarkan kasih sayang Ibu yang tak lekang oleh waktu
kepada anaknya. Namun rupanya pepatah itu tak berlaku bagi seorang Ibu,
yang belum sempat saya ketahui namanya.
Sore itu, hujan turun cukup deras di tanah Jogja. Saya tengah dalam
perjalanan untuk suatu keperluan. Tepat di bawah jembatan layang, saya
melihat seorang anak berselimutkan kain spanduk dengan ditemani Ibu,
kakak, dan adiknya. Menyadari mereka dalam kesusahan, saya belokkan
sepeda motor saya menghampiri mereka. Anak perempuan berusia 6 tahun
yang kemudian saya ketahui bernama Yanti tampak begitu pucat, tubuhnya
menggigil kedinginan.
Dengan cuaca dingin setelah beberapa hari hujan, tidur hanya
beralaskan sepotong kardus dan berselimutkan kain spanduk tentu
membuatnya sangat kedinginan. Selintas saya teringat pada kasur empuk
dan selimut tebal yang hangat di kost, ah…betapa lebih beruntungnya
saya…
“Sudah tujuh hari sakit, Mbak. Batuk-batuk, muntah, buang air besar,
batuk sama buang air besarnya keluar darah…”. Ujar sang ibu. Saya coba
memeriksa kondisi Yanti, badannya sangat panas, dia terlihat begitu
menderita. Yanti harus mendapatkan pertolongan Dokter!
Di ruang UGD Yanti menangis ketika jarum infus menusuk pergelangan
tangannya yang mungil. Yanti harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
Kakaknya, Nugroho berusia 10 tahun dan adiknya, Yanto yang berusia 3
tahun saya titipkan pada seorang teman, karena rumah sakit tidak
memperbolehkan anak-anak ikut berjaga di rumah sakit.
Selama berjaga di rumah sakit sang ibu menceritakan kisah hidupnya.
Dia menikah dengan seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
Suaminya kasar dan tak pernah di rumah apalagi memberi uang belanja
untuk keperluan sehari-hari. Kalaupun pulang, bukan uang yang diberikan
tetapi justru meminta uang pada isterinya. Tak tahan dengan kelakuan
sang suami, sang ibu membawa ketiga anaknya hidup di jalanan. Tidur
berpindah-pindah, di bawah jembatan, di pasar atau di emperan toko.
Untuk mengisi perut, ia menjadikan anak-anaknya pengemis.
Menurut keterangan para ibu yang anaknya dirawat di bangsal yang
sama, sang ibu kerap terlihat di perempatan jalan menunggui anaknya
mengemis. Sementara anak-anaknya berpanas-panasan, berhujan-hujanan,
bertaruh nyawa di tengah padatnya arus kendaraan, sang ibu
bersantai-santai dengan berpayung ria menunggu anak-anaknya menyetor
receh yang mereka dapatkan.
Cerita yang kerap saya dengar dan lihat dari kehidupan orang-orang
yang hidup di jalanan. Pada akhirnya, anak-anak yang menjadi korban. Di
jalanan, anak-anak lebih dapat menarik simpati para pemakai jalan. Uang
30 ribu, 50 ribu, bahkan lebih dapat diraup dalam waktu singkat. Berbeda
halnya dengan orang dewasa. Karena itulah para orang tua yang putus asa
dan berpikiran sempit menggunakan anak-anaknya untuk mencari rejeki.
Walaupun ada juga orang tua yang pada awalnya tidak mengizinkan, tapi di
tengah-tengah, dengan alasan himpitan ekonomi, dibiarkannya juga
anak-anak mencari penghidupan di jalanan.
Setelah tujuh hari, Yanti
dinyatakan sehat dari sakit Bronchitis dan muntaber yang dideritanya.
Beruntung, pihak rumah sakit membebaskan biaya perawatan. Keceriaan
kanak-kanak menghiasi wajah Yanti. Siapa yang menyangka, bocah manis dan
lucu itu bersama dua saudaranya dengan tega oleh sang ibu ditawarkan
kepada para ibu di rumah sakit untuk diambil sebagai anak. “Sudah capek
saya ngurus anak-anak ini” kata sang ibu.
Niat sang ibu untuk meninggalkan anak-anaknya akhirnya diwujudkan
dengan cara yang dramatis. Ketika itu, begitu Yanti keluar dari rumah
sakit, saya membawa Yanti, Ibu, kakak dan adiknya ke sebuah Panti
Sosial. Itulah tempat yang menurut saya dapat menjadi solusi. Dari hasil
survey saya sebelumnya, Panti itu memberikan satu kamar untuk tiap
keluarga, makan gratis, uang saku, dan pelatihan keterampilan agar kelak
dapat mandiri. Dan yang terpenting Yanti tidak harus tidur di jalanan
yang ketika siang penuh asap kendaraan, dan ketika malam diselimuti
udara dingin, yang pastinya itu semua akan lebih membahayakan kesehatan
Yanti yang telah terjangkit bronchitis.
Namun begitu tiba di depan Panti, sang ibu menolak untuk tinggal
seperti kesepakatan kami. Dengan menggendong anaknya yang paling kecil,
sang ibu berlari dan kemudian menumpangi becak yang kebetulan lewat.
Saya mencoba mengejar dan mencegahnya.
“Jangan pergi, Bu. Kalau Ibu gak mau tinggal, kita bisa cari tempat
yang lain. Tapi ibu gak boleh ninggalin anak-anak ibu. Yanti baru
sembuh, dia butuh ibu!”.
“Saya gak mau ngurus, Mbak. Terserah Mbak mau apakan Nugroho sama
Yanti”. Jawab sang ibu acuh tak acuh. Dan sang ibu pun berlalu
meninggalkan kedua anaknya.Dada saya terasa sesak, air mata menetes.
Peristiwa yang selama ini hanya saya lihat di sinetron, terjadi di depan
mata saya…
Yanti dan kakaknya saya serahkan ke Panti Asuhan. Semakin hari
kesehatan Yanti semakin membaik. Dia dan kakaknya dirawat dengan baik di
sana. Mereka selalu terlihat ceria dan bahagia tiap kali saya
menjenguknya. Dan yang terpenting, mereka belajar mengaji dan sholat di
Panti Asuhan itu. Hal ini tentu sangat membahagiakan saya karena
sebelumnya, Yanti dan Nugroho mengaku non muslim. Yanti, Nugroho dan
adiknya sering bermain di halaman gereja bersama para biarawati. Pantas
saja mereka memanggil saya “Suster” di awal pertemuan kami. Rupanya
pakaian biarawati mereka anggap sama dengan jilbab lebar yang saya
pakai.
Waktu pun berlalu. Nugroho telah bersekolah. Yanti sudah tidak sabar
menunggu tahun depan untuk bersekolah. Masa depan cerah menanti mereka.
Namun suatu hari, tanpa sepengetahuan pengasuh Panti Asuhan, sang ibu
datang dan membawa mereka entah ke mana…
Saya baru melihat mereka kembali berbulan-bulan kemudian, di
perempatan jalan, dengan penampilan kumuh tak terurus. Yanti, Nugroho
dan adiknya, tengah tertawa ceria bersama sang ibu. Tak peduli padatnya
lalu lintas, tak peduli teriknya matahari, tak peduli bahwa sang ibu
pernah meninggalkan mereka begitu saja…
Sungguh, melihat tawa ceria anak-anak itu di tengah pahitnya hidup
yang mereka lalui, saya tak habis mengerti, mengapa sang ibu tega
meninggalkan mereka begitu saja…mengapa sang ibu datang kembali di saat
masa depan cerah terbuka bagi mereka… mengapa sang ibu begitu tega
meraup rejeki dari tangan-tangan mungil mereka yang menengadah…saya
hanya dapat berdo’a semoga tidak ada lagi anak-anak bernasib sama
seperti Yanti dan kedua saudaranya…
Home »
KUMPULAN KATA-KATA
» Kasih Ibu sepanjang hayat, kasih anak sepanjang jalan
0 komentar:
Posting Komentar